Wartawan Senior dan Konsultan Komunikasi. Peraih Press Card Number One tahun 2020, Penasehat Forum Akademisi Indonesia (FAI) serta Ketua Bidang Luar Negeri Serikat Media Siber Indonesia (SMSI).
Oleh : Aat Surya Safaat
Jakarta, Potretbabel.com - Seorang investor dan pengusaha sukses yang juga penulis dan motivator Amerika keturunan Jepang Robert Toru Kiyosaki belum lama ini menulis buku yang fenomenal dengan judul “Why ‘A’ Students Work for ‘C’ Students and Why ‘B’ Students Work for the Government”.
Intinya, dalam buku itu Kiyosaki menjelaskan secara lengkap mengapa banyak murid yang pada masa studinya terkenal “pintar”, ternyata pada masa dewasanya malah bekerja pada murid-murid yang biasa-biasa saja, bahkan tergolong “bodoh” sewaktu mereka sama-sama belajar di sekolah atau di perguruan tinggi.
Perbedaan murid A dengan murid C ialah bahwa murid A tidak terbiasa gagal. Bagi mereka, mendapat nilai B di sekolah ibarat kehidupan yang akan segera berakhir. Oleh karena itu mereka tidak paham bagaimana menghadapi sebuah kegagalan seperti kerap dialami murid C, sedangkan murid B cenderung mencari “jalan aman”, terutama dengan menjadi pegawai pemerintahan.
Pesan moralnya adalah, tidak ada jalan pintas menuju kesuksesan. Seseorang boleh gagal berkali-kali, tetapi harus terus mencoba dan mencoba lagi hingga akhirnya mencapai titik keberhasilan atau kesuksesan.
Robert Toru Kiyosaki sendiri menjadi terkenal, terutama karena buku pertamanya yang berjudul “Rich Dad, Poor Dad” diminati banyak orang dan menjadi “best seller” di banyak negara, termasuk di Indonesia.
Sampai sejauh ini, motivator dan pengusaha yang lahir di Hawaii Amerika pada 8 April 1947 itu telah menulis 15 buku, termasuk buku “Why ‘A’ Students Work for ‘C’ Students and Why ‘B’ Students Work for the Government”.
Ia menekankan bahwa ada pelajaran penting untuk mencapai kecakapan hidup yang tidak diajarkan di sekolah, tetapi didapatkannya dari pengalaman, terutama soal kegigihan dalam mengatasi tantangan, kerja keras, dan sikap empati. Kesemuanya itu menyangkut apa yang disebut “karakter”.
Khusus di Indonesia, persoalan karakter bukan masalah sepele. Buktinya, sampai sejauh ini masalah korupsi, suap-menyuap, peredaran narkoba, kenakalan remaja, dan masalah kriminal lainnya masih banyak mewarnai pemberitaan, baik di media massa daerah maupun nasional.
Bahkan bukan itu saja, masalah karakter juga mencoreng dunia pendidikan. Terbukti masih banyak pemberitaan tentang adanya perilaku plagiarisme, bahkan dengan motivasi finansial di kalangan mahasiswa dan dosen hingga guru besar. Ada pula guru besar yang bahkan tersangkut masalah narkoba.
Terkait adanya aneka fenomena sosial yang mengkhawatirkan masa depan bangsa itu sejatinya menunjukkan bahwa persoalan pendidikan dan pengembangan karakter harus menjadi perhatian semua pihak, khususnya kalangan pendidik, tokoh agama, dan aparat penegak hukum.
Dalam konteks itu pula pada dasarnya tujuan pendidikan karakter di Indonesia adalah untuk membangun bangsa yang tangguh, dimana masyarakatnya berakhlak mulia, relijius, bertoleransi, dan selalu siap bergotong-royong sesuai nilai-nilai yang bersumber dari ajaran agama, Pancasila, dan budaya bangsa.
Walaupun mungkin raihan atau prestasi seseorang secara akademis kurang memuaskan, tetapi jika karakternya sudah terbentuk dengan baik sejak masa anak-anak, maka yang bersangkutan diyakini akan tetap memiliki masa depan yang menjanjikan sebagamana telah dijelaskan oleh motivator Robert Kiyosaki.
Sementara itu fakta menunjukkan bahwa masalah korupsi di Indonesia semakian hari seperti kian melembaga, tidak hanya di lingkup pemerintahan, tetapi juga bahkan sampai di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) akibat buruknya karakter sebagian elit politik serta kurangnya kemauan politik dalam memerangi korupsi sebagai musuh bersama bangsa Indonesia.
Sebagai contoh konkrit mengenai kasus korupsi di Indonesia, berdasarkan survei yang dilakukan oleh PERC (Political and Economy Risk Consultancy) terhadap 1000 pengusaha ekspatriat yang bekerja di 12 negara di Asia, disebutkan bahwa Indonesia dinyatakan sebagai bangsa/negara yang paling korup di wilayah Asia dengan nilai yang paling tinggi.
Melihat permasalahan korupsi dan fenomena sosial lainnya yang makin memprihatinkan itu, eks Angkasawan Radio Republik Indonesia (RRI) Drs. H. Anhar Achmad, SH., MH., MM dalam perbincangan dengan wartawan di Jakarta belum lama ini menyatakan siap berkiprah di jalur politik untuk turut meluruskan tatanan sosial yang rapuh tersebut.
Lebih dari itu, sebagai eks Angkasawan RRI, Anhar berkomitmen menegakkan kebaikan perilaku dan moralitas, termasuk penegakan hukum yang dilakukan secara adil dan konsekuen serta secara jujur dan konsisten. Salah satunya adalah dengan menyampaikan aspirasi dan partisipasi melalui wakil rakyat serta lewat media massa.
Ia juga mengingatkan, sesuai Kode Etik Angkasawan, dalam menjalankan profesinya sebagai reporter, presenter, penyiar, redaktur, penulis, dan profesi lainnya maupun teknisi, Angkasawan RRI senantiasa menjunjung tinggi azas kejujuran dan tanggung jawab, bijaksana serta menjunjung tinggi martabat manusia dan lingkunganya, mengabdi kepada kepentingan bangsa dan negara serta terpercaya dalam mengemban tugas profesinya.
Anhar Achmad sendiri dilahirkan 61 tahun lalu dari keluarga pejuang RRI, lalu meneruskan pengabdian sampai tingkat puncak sebagai Direktur Keuangan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI periode 2010-2016 dan Direktur Layanan dan Pengembangan Usaha LPP RRI Periode 2019-2021.
Sepanjang kariernya sebagai karyawan RRI, Anhar telah mengenyam banyak asam garam memimpin RRI di berbagai daerah, seperti Malang, Lampung, Palembang, Yogyakarta, dan Semarang serta memimpin Voice Of Indonesia (Siaran Luar Negeri) LPP RRI.
Pengalaman kariernya relatif lengkap, menyangkut “leadership” (kepemimpinan) dalam bidang keuangan dan manajemen serta kewartawanan. Selama beberapa tahun terakhir ini ia bahkan memasuki bidang jasa sosial layanan hukum kepada masyarakat yang kurang mampu atau mereka yang memerlukan bantuan hukum.
Kiprah layanan kepada masyarakat tidak berhenti sampai di situ. Alumni Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Angkatan 51 Tahun 2014 itu menyatakan keinginannya untuk mengabdi kepada bangsa dan negara melalui jalur politik dalam perjuangan untuk kemajuan bangsa dan negara menuju cita-cita Indonesia emas di tahun 2045.
Menurut Anhar, bangsa Indonesia saat ini memerlukan pemimpin yang mampu menyerap aspirasi rakyat dan berpihak kepada rakyat dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan mereka. Ini menjadi satu komitmen dia dalam melanjutkan gerakan revolusi mental, karena bagaimanapun masih ada secercah harapan untuk membangun bangsa Indonesia ke depan.
Ia juga mengemukakan, lunturnya etika politik yang terjadi pada para pelaku politik di Indonesia juga berpengaruh pada hilangnya tatanan yang bermoral dan rasional, disamping melunturnya rasa percaya diri (self-confidence) sebagai bangsa yang besar.
Kerinduan akan seorang pemimpin yang berkarakter dan benar-benar berorientasi pada kepentingan masyarakat sepertinya menjadi obat mujarab yang dibutuhkan untuk memperbaiki perilaku para elit politik dan tatanan moral saat ini, dan pemimpin yang memiliki karakter dan berintegritas adalah figur pemimpin yang diinginkan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Pemimpin yang baik adalah juga figur politik yang sungguh-sungguh memperjuangkan aspirasi rakyat kecil serta mampu menjawab dan mengatasi segala persoalan multidimensi bangsa, mulai dari persoalan hukum, sosial, dan ekonomi, sampai kepada merancang bangun sebuah tatanan moral di kalangan elit polik.
*Penulis, Aat Surya Safaat adalah Wartawan Senior dan Konsultan Komunikasi. Saat ini, peraih Press Card Number One tahun 2020 itu mendapat amanah sebagai Penasehat Forum Akademisi Indonesia (FAI) serta Ketua Bidang Luar Negeri Serikat Media Siber Indonesia (SMSI).*Tim
0 Comments