Nyatanya, rakyat Kahsmir merasakan betapa pedihnya krisis kemanusiaan akibat persengketaan antar pemimpin yang sampai sekarang tak kunjung berkesudahan.
Krisis Kashmir sudah terjadi sejak 75 tahun lalu, dan hingga hari ini belum menunjukkan tanda-tanda penyelesaian yang paripurna. Warga Kashmir yang dirundung derita menanti perhatian dan bantuan komunitas internasional, termasuk Dunia Islam untuk dapat menyelesaikan krisis yang masih saja mereka rasakan hingga hari ini.
Ratusan ribu jiwa sudah menjadi korban dan puluhan ribu anak-anak menjadi yatim-piatu karena orangtuanya yang pergi untuk selamanya. Sementara di sisi lain para wanita menjadi janda karena suaminya yang tak kunjung pulang meski sudah berbulan-bulan bahkan bertahun lamanya, entah itu dalam tahanan atau sudah tiada.
Mereka menjadi korban dari keganasan pasukan rezim penguasa serta sebagai akibat dari kesepakatan yang tak kunjung tiba.
Awal mula krisis Kashmir
Krisis Kashmir berawal dari policy Inggris yang memberi kemerdekaan kepada India dan Pakistan pada 1947, namun tidak memberikannya kepada rakyat Kashmir. Walhasil, wilayah Kashmir menjadi rebutan hingga kini.
India dan Pakistan setidaknya tiga kali terlibat perang besar sejak 1947 karena saling mengklaim atas wilayah Kashmir. Saat kedua negara itu memiliki senjata nuklir pada 1998, keduanya hampir kembali terlibat perang pada 1999 akibat persengketaan wilyah Kashmir.
Sementara itu kekerasan yang dialami warga Kashmir setidaknya telah menewaskan 47 ribu jiwa sejak krisis bermula. Data tersebut tidak termasuk orang-orang yang dinyatakan hilang sepanjang konflik berlangsung. Sejumlah kelompok pembela HAM dan LSM menyebut jumlah korban tewas dua kali lebih banyak dari data tersebut.
Resolusi PBB
Sejak 1 Januari 1948 krisis Kashmir menjadi permasalahan dunia internasional di bawah naungan PBB berdasarkan pertemuan antara Gubernur Jenderal Pakistan Mohammad Ali Jinnah dan Gubernur Jenderal India Lord Mounbatten di Lahore pada 2 November 1947 yang menyepakati pelaksanaan referendum bagi rakyat Kashmir.
PBB kemudian membentuk United Nation Comission for India and Pakistan (UNCIP) yang mengharuskan India dan Pakistan menghentikan peperangan, menarik pasukan, mengembalikan pengungsi, membebaskan tahanan politik, dan secepatnya melaksanakan referendum. Namun rencana referendum di wilayah Kashmir belum juga terlaksana.
UNCIP melakukan berbagai pertemuan mengenai perumusan proses genjatan senjata yang dilakukan. Proses-proses tersebut antara lain mengenai garis genjatan senjata, penarikan pasukan secara bertahap, dan pengawasan proses genjatan senjata.
PBB juga mengirimkan delegasi khusus untuk membantu penyelesaian krisis Kashmir. Perwakilan PBB yang pertama pada 1949, AG L McNaughton membawa proposal yang menyarankan agar kedua negara melakukan demiliterisasi dan memastikan referendum dilaksanakan. Namun, proposal tersebut ditolak oleh India.
Pada 1950 PBB mengutus Sir Owen Dixon bertemu dengan pejabat India dan Pakistan untuk kembali mencari solusi. Dixon juga membawa proposal yang menyarankan agar referendum hanya dilakukan di daerah yang bermasalah (Valley of Kashmir), dan wilayah lainnya menentukan keputusan sendiri untuk bergabung dengan India atau Pakistan.
PBB kembali mengirim perwakilannya, yaitu Frank Graham untuk menyelesaikan konflik dalam waktu tiga bulan. Namun misi tersebut belum juga berhasil. Selanjutnya pada 1957 PBB kembali mengirim perwakilannya, yaitu Gunnar Jarring, namun misinya juga mengalami kegagalan.
Sejak krisis terjadi, PBB sudah mengeluarkan 11 kali resolusi untuk Kashmir. Namun hal itu belum efektif menyelesaikan konflik hingga hari ini.
Sementara itu Hari Solidaritas Kashmir diperingati di Pakistan pada tiap 5 Februari, sejak 1990. Hari Solidaritas itu diperingati untuk memberi penghormatan kepada para pejuang Kashmir serta menyoroti perjuangan mereka untuk hak menentukan nasib sendiri yang dijanjikan oleh komunitas internasional di bawah resolusi Dewan Keamanan PBB.
Solusi yang ditawarkan
Sungguh setiap jiwa yang lahir ke muka bumi ini memiliki hak untuk hidup, tanpa penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan serta tanpa diskriminasi dan mendapatkan perlakuan sama di depan hukum.
Itu semua dijamin dalam Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah disepakati dunia internasional pada 10 Desember 1948 dalam sebuah risalah Deklarasi Universal. Maka, sudah menjadi kewajiban semua ummat manusia untuk mewujudkan hal itu menjadi nyata, termasuk bagi rakyat Kashmir.
Pada 4 - 8 Oktober 2019, beberapa ulama, LSM dan anggota parlemen negara-negara Asia Tenggara, dipimpin Dr. Mohd Azmi Abdul Hamid sebagai Presiden Majlis Perundingan Pertubuhan Islam Malaysia (MAPIM), diundang oleh Pemerintah Pakistan mengunjungi Kashmir sebagai bagian dari kepedulian mereka terhadap saudara-saudaranya yang mengalami penderitaan di wilayah itu.
Dari Indonesia, penulis adalah satu-satunya wakil Indonesia dalam misi tersebut. Dari hasil kunjungan itu, penulis menyimpulkan bahwa untuk menyelesaikan krisis Kashmir setidaknya perlu dilakukan tiga hal.
Pertama adalah pendekatan kemanusiaan. Fakta bahwa di wilayah Kashmir ada penduduk yang beragama Islam dan Hindu, maka pendekatan humanisme (kemanusiaan) adalah yang paling memungkinkan untuk wilayah itu.
Pendekatan kemanusiaan yang dimaksud adalah bahwa pertolongan harus diberikan kepada siapa saja tanpa memandang suku, agama ras dan golongan. Siapa saja yang membutuhkan, merekalah yang harus menjadi prioritas dalam mendapatkan pertolongan dan bantuan.
Siapa pun yang memberikan bantuan, tidak boleh memilih-milih sesuai dengan seleranya atau sepaham dengan kelompoknya saja, tapi harus secara menyeluruh, adil dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
Kedua, pendekatan kesejahteraan. Rakyat Kashmir sudah lama merasakan penderitaan yang tak kunjung reda. Maka, salah satu kebutuhan medesak mereka adalah mewujudkan kesejahteraan bagi semua penduduknya.
Lantas apa saja yang menjadi hal mendasar dalam mewujudkan kesejahteraan? Hal terpenting adalah fasilitas kesehatan. Hal itu mutlak diperlukan oleh masyarakat di sana. Berada dalam zona konflik sudah pasti ada banyak yang terluka, bahkan terbunuh. Maka penyediaan fasilitas kesehatan harus diutamakan.
Selain itu, pendidikan menjadi hal urgen bagi masyarakat Kashmir. Generasi mudanya harus memiliki pendidikan yang cukup sehingga mereka bisa berfikir maju dalam menyelesaikan sebuah krisis, tanpa harus mengedepankan kekerasan, baik fisik, verbal, maupun teror yang bersifat intimidasi.
Ketiga, pendekatan politis. Pendekatan politis ini menjadi kunci bagi penyelesaian krisis Kashmir. Para cendekiawan Kashmir harus mengangkat pena mereka, menyuarakan aspirasi rakyatnya, mengabarkan kepada dunia tentang apa sebenarnya yang terjadi di wilayahnya, tanpa putus asa.
Mereka harus menyuarakan kepada dunia tentang perdamaian sebagai solusi utama untuk menyelesaikan krisis, dan itu bisa didapat jika ada kebebasan bagi masyarakat Kashmir.
Rakyat Kashmir harus diberi kebebasan memilih, menetukan nasibnya sendiri, memilih jalannya sendiri, tanpa ada intimidasi dan intervensi dari pihak mana pun.
Intervensi dan intimidasi hanya akan menimbulkan tindak kekerasan dan pasti korbannya adalah rakyat sipil tak berdosa. Mereka akan terus menjadi sasaran keganasan aparat dengan alasan menjaga stabilitas keamanan nasional.
Rakyat Kashmir lebih tahu tentang kemana mereka harus bergabung, kepada siapa mereka akan bermitra, dan siapa di antara pemimpin negeri yang mereka percayai. Kesimpulan tersebut penulis uraikan dalam buku “Kashmir Yang Membara & Solusinya”. (Tim).
0 Comments